BAB 9 PRINSIP DAN PRAKTIK EKONOMI ISLAM
A. Pengertian Mu’āmalah
Mu’āmalah dalam kamus Bahasa Indonesia artinya hal-hal yang
termasuk urusan kemasyarakatan (pergaulan, perdata, dsb). Sementara dalam fiqh
Islam berarti tukarmenukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara
yang ditempuhnya, seperti jual-beli, sewamenyewa, upah-mengupah,
pinjammeminjam,
urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
Dalam melakukan transaksi ekonomi, Islam melarang :
1. Tidak boleh mempergunakan cara-cara yang batil.
2. Tidak boleh melakukan kegiatan riba.
3. Tidak boleh dengan cara-cara ẓāl³m (aniaya).
4. Tidak boleh mempermainkan takaran, timbangan, kualitas, dan kehalalan.
5. Tidak boleh dengan cara-cara spekulasi/berjudi.
6. Tidak boleh melakukan transaksi jual-beli barang haram.
B. Macam-Macam Mu’āmalah
1. Jual-Beli
Jual-beli menurut syariat agama ialah kesepakatan tukar-menukar
benda untuk memiliki benda tersebut selamanya.
a. Syarat-Syarat Jual-Beli
.
1) Penjual dan pembelinya haruslah:
a) ballig,
b) berakal sehat,
c) atas kehendak sendiri.
2) Uang dan barangnya haruslah:
a) halal dan suci.
b) bermanfaat.
c) Keadaan barang dapat diserahterimakan
d) Keadaan barang diketahui oleh penjual dan pembeli.
e) Milik sendiri
3) Ijab Qobul
Seperti pernyataan penjual, “Saya jual barang ini dengan harga
sekian.” Pembeli menjawab, “Baiklah saya beli.” Dengan demikian, berarti
jual-beli itu berlangsung suka sama suka.
b. Khiyār
1) Pengertian Khiyār
Khiyār adalah bebas memutuskan antara meneruskan jual-beli atau
membatalkannya.
2) Macam-Macam Khiyār
a) Khiyār Majelis,
adalah selama penjual dan pembeli masih berada di tempat berlangsungnya transaksi/tawar-menawar,
keduanya berhak memutuskan meneruskan atau membatalkan jual-beli.
b) Khiyār Syarat, adalah
khiyar yang dijadikan syarat dalam jual-beli.
c) Khiyār Aibi (cacat),
adalah pembeli boleh mengembalikan barang yang dibelinya jika terdapat cacat
yang dapat mengurangi kualitas atau nilai barang tersebut, namun hendaknya
dilakukan sesegera mungkin.
c. Ribā
1) Pengertian Ribā
Ribā adalah bunga uang atau nilai lebih atas penukaran barang. Hal
ini seringterjadi dalam pertukaran bahan makanan, perak, emas, dan
pinjam-meminjam. Ribā, apa pun bentuknya, dalam syariat Islam hukumnya haram.
Guna menghindari riba, apabila mengadakan jual-beli barang sejenis
seperti emas dengan emas atau perak dengan perak ditetapkan syarat:
a) sama timbangan ukurannya; atau
b) dilakukan serah terima saat itu juga,
c) secara tunai.
2) Macam-Macam Ribā
a) Ribā Faḍli, adalah
pertukaran barang sejenis yang tidak sama timbangannya
b) Ribā Qorḍi, adalah
pinjam meminjam dengan syarat harus memberi kelebihan saat mengembalikannya.
c) Ribā Yādi, adalah
akad jual-beli barang sejenis dan sama timbangannya, namun penjual dan pembeli
berpisah sebelum melakukan serah terima.
d) Ribā Nas³’ah, adalah
akad jual-beli dengan penyerahan barang beberapa waktu kemudian.
2. Utang-piutang
a. Pengertian Utang-piutang
Utang-piutang adalah menyerahkan harta dan benda kepada seseorang
dengan catatan akan dikembalikan pada waktu kemudian.
b. Rukun Utang-piutang
1) yang berpiutang dan yang berutang
2) ada harta atau barang
3) Lafadz kesepakatan
3. Sewa-menyewa
a. Pengertian Sewa-menyewa
Sewa-menyewa dalam fiqh Islam disebut ijārah, artinya imbalan yang
harus diterima oleh seseorang atas jasa yang diberikannya. Jasa di sini berupa
penyediaan tenaga dan pikiran, tempat tinggal, atau hewan.
b. Syarat dan Rukun Sewa-menyewa
1) Yang menyewakan dan yang menyewa haruslah telah ballig dan
berakal sehat.
2) Sewa-menyewa dilangsungkan atas kemauan masing-masing, bukan
karena dipaksa.
3) Barang tersebut menjadi hak sepenuhnya orang yang menyewakan,
atau walinya.
4) Ditentukan barangnya serta keadaan dan sifat-sifatnya.
5) Manfaat yang akan diambil dari barang tersebut harus diketahui
secara jelas oleh kedua belah pihak.
6) Berapa lama memanfaatkan barang tersebut harus disebutkan dengan
jelas.
7) Harga sewa dan cara pembayarannya juga harus ditentukan dengan
jelas serta disepakati bersama.
Dalam hal sewa-menyewa atau kontrak tenaga kerja, haruslah
diketahui secara jelas dan disepakati bersama sebelumnya hal-hal berikut.
1) Jenis pekerjaan dan jam kerjanya.
2) Berapa lama masa kerja.
3) Berapa gaji dan bagaimana sistem pembayarannya
4) Tunjangan-tunjangan seperti transpor, kesehatan, dan lain-lain,
kalau ada.
C. Syirkah
Secara bahasa, kata syirkah (perseroan) berarti mencampurkan dua
bagian atau lebih sehingga tidak dapat lagi dibedakan antara bagian yang satu
dengan bagian yang lainnya. Menurut istilah, syirkah adalah suatu akad yang
dilakukan oleh dua
pihak atau lebih yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan
tujuan memperoleh keuntungan.
a. Rukun dan Syarat
Syirkah
1) Dua belah pihak yang berakad (‘aqidani). Syarat orang yang
melakukan akad adalah harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan taṡarruf
(pengelolaan harta).
2) Objek akad yang disebut juga ma’qud ‘alaihi mencakup pekerjaan
atau modal.
3) Akad atau yang disebut juga dengan istilah ṡigat. Adapun syarat
sah akad harus berupa taṡarruf, yaitu adanya aktivitas pengelolaan.
b. Macam-Macam Syirkah
1) Syirkah Inan
Syirkah ‘inān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing- masing memberi kontribusi kerja (amal) dan modal (mal). Syirkah ini
hukumnya boleh berdasarkan dalil sunah dan ijma’ sahabat.
2) Syirkah Abdan
Syirkah ‘abdān adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
masing-masing hanya memberikan kontribusi kerja (amal), tanpa kontribusi modal
(amal). Konstribusi kerja itu dapat berupa kerja pikiran (seperti penulis
naskah) ataupun kerja fisik (seperti tukang batu). Syirkah ini juga disebut
syirkah ‘amal.
3) Syirkah Wujuh
Syirkah wujūh adalah kerja sama karena didasarkan pada kedudukan,
ketokohan, atau keahlian (wujuh) seseorang di tengah masyarakat. Syirkah wujūh
adalah syirkah antara dua pihak yang sama-sama memberikan kontribusi kerja
(amal) dengan pihak ketiga yang memberikan konstribusi modal (mal).
4) Syirkah Mufawadah
Syirkah mufāwaḍah adalah syirkah antara dua pihak atau lebih yang
menggabungkan semua jenis syirkah di atas. Syirkah mufāwaḍah dalam pengertian
ini boleh dipraktikkan. Sebab setiap jenis syirkah yang sah berarti boleh
digabungkan menjadi satu. Keuntungan yang diperoleh dibagi sesuai dengan
kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkahnya,
yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal jika berupa syirkah
‘inān, atau ditanggung pemodal saja jika berupa mufāwaḍah, atau ditanggung
mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki jika berupa syirkah wujūh.
5) Mudarabah
Muḍārabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak, di mana
pihak pertama menyediakan semua modal (ṡāhibul māl), pihak lainnya menjadi
pengelola atau pengusaha (muḍarrib).
6) Musāqah, Muzāra’ah, dan Mukhābarah
a) Musāqah
Musāqah adalah kerja sama antara pemilik kebun dan petani di mana
sang pemilik kebun menyerahkan kepada petani agar dipelihara dan hasil panennya
nanti akan dibagi dua menurut persentase yang ditentukan pada waktu akad.
b) Muzāra’ah dan
Mukhābarah
Muzāra’ah adalah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik
lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari petani.
mukhābarah ialah kerja sama dalam bidang pertanian antara pemilik
lahan dan petani penggarap di mana benih tanamannya berasal dari pemilik lahan.
Muzāra’ah dan mukhābarah merupakan bentuk kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap yang sudah dikenal sejak masa
Rasulullah saw.
D. Perbankan
1. Pengertian Perbankan
Bank adalah sebuah lembaga keuangan yang bergerak dalam menghimpun
dana masyarakat dan disalurkannya kembali dengan menggunakan sistem bunga.
Bank dilihat dari segi penerapan bunganya, dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu seperti berikut :
a. Bank Konvensional
Bank konvensional ialah bank yang fungsi utamanya menghimpun dana
untuk disalurkan kepada yang memerlukan, baik perorangan maupun badan usaha,
guna mengembangkan usahanya dengan menggunakan sistem bunga.
b. Bank Islam atau Bank Syari’ah
Bank Islam atau bank syari’ah ialah bank yang menjalankan
operasinya menurut syariat Islam.
1) Muḍārabah, yaitu
kerja sama antara pemilik modal dan
pelaku usaha dengan perjanjian bagi hasil dan sama-sama menanggung kerugian
dengan persentase sesuai perjanjian.
2) Musyārakah, yakni
kerja sama antara pihak bank dan pengusaha di mana masing-masing sama-sama
memiliki saham.
3) Wadiah, yakni jasa
penitipan uang, barang, deposito, maupun surat berharga.
4) Qarḍul hasān, yakni
pembiayaan lunak yang diberikan kepada nasabah yang baik dalam keadaan darurat.
5) Murābahah, yaitu
suatu istilah dalam fiqh Islam yang menggambarkan suatu jenis penjualan di mana
penjual sepakat dengan pembeli untuk menyediakan suatu produk, dengan ditambah
jumlah keuntungan tertentu di atas biaya produksi.
E. Asuransi Syar³’ah
1. Prinsip-Prinsip
Asuransi Syari’ah
Asuransi berasal dari bahasa Belanda, assurantie yang artinya
pertanggungan. Dalam bahasa Arab dikenal dengan at-Ta’min yang berarti
pertanggungan, perlindungan, keamanan, ketenangan atau bebas dari perasaan
takut. Si penanggung (assuradeur) disebut mu’ammin dan tertanggung
(geasrurrerde) disebut musta’min. Dalam Islam, asuransi merupakan bagian dari
muāmalah. Kaitan dengan dasar hukum asuransi menurut fiqh Islam adalah boleh
(jaiz) dengan suatu ketentuan produk asuransi tersebut harus sesuai dengan
ketentuan hukum Islam.
2. Perbedaan Asuransi
Syari’ah dan Asuransi Konvensional
a. Tentu saja prinsip
tersebut berbeda dengan yang berlaku di sistem asuransi konvensional, yang
menggunakan prinsip transfer risiko
b. asuransi konvensional
dikenal dana hangus, di mana peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi
ketika ingin mengundurkan diri sebelum masa jatuh tempo. Peserta yang baru
masuk sekalipun, lantas karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, dana
atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali
sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ (sumbangan) yang
tidak dapat diambil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar